blog mihardi77

blog mihardi77

Minggu, 10 Januari 2010

TERAPI INSULIN

Terapi Insulin untuk Praktek Sehari-hari

Edukasi dokter ke pasien merupa¬kan kunci utama. Dokter ha¬rus meya¬kin¬kan bahwa insulin merupakan obat yang sangat mu¬ja¬rab untuk DM serta model in¬sulin saat ini sudah beraneka ra¬gam, ja¬rumnya tidak menyakitkan, dan caranya se¬makin mudah.
Dalam praktek sehari-hari diabetes mellitus yang membutuhkan tera¬pi insulin merupakan kasus yang sering dijumpai. Kepiawaian dokter (umum maupun spesialis) da¬lam perawatan pasien salah satunya da¬pat diukur dari ketelitiannya dalam manajemen pasien DM yang membutuhkan in¬su¬lin, pendapat Prof. Dr. Sarwono Was¬pa¬dji, Sp.PD. Khusus bagi penderita DM tipe I (IDDM) insulin merupakan kebutuh¬an pokok yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tahun 1921, ekstrak insulin dari he¬wan dibuat oleh para ilmuwan dari Uni¬ver¬sity of Toronto, Ontario, Canada. Saat ini penyulingan insulin sudah mengalami per¬kembangan yang sangat pesat dengan ha¬sil yang makin memuaskan.
Penderita IDDM (DM tipe 1) umumnya tidak banyak mengalami masalah jika ha¬rus mengkonsumsi insulin mengingat itu merupakan satu-satunya obat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sedangkan pa¬sien NIDDM (DM tipe 2) relatif memiliki ke¬sukaran yang lebih dalam mengguna¬kan insulin, mengingat masih ada bebera¬pa lini pilihan terapi bagi mereka.

Perkembangan insulin
Lebih dari 35 tahun lalu, pendekatan pa¬sien IDDM sangat konvensional de¬ngan pemberian Neutral Protamine Hage¬dom (NPH) dan insulin dua kali sehari. Saat ini pasien IDDM hampir semua men¬da¬pat terapi bolus/basal. Namun secara ga¬ris besar penggantian insulin merupa¬kan cara yang paling efektif untuk men¬de¬kati kondisi fisiologis. Saat ini perkem¬bang¬an pemberian insulin ialah variasi ca¬ra pemberian yang makin mudah dan nya¬man. Ada yang memilih pompa infus insulin subkutan atau injeksi insulin bo¬lus, hingga metode inhalasi sebagai pilih¬an terbaru.
Penggunaan insulin pada penderita DM tipe 2 juga terus mengalami perkembangan. Pada prinsipnya patofisiologi DM tipe 2 ialah terjadinya resistensi insulin di membran sel (kelainan kerja insulin) yang terus-menerus sehingga mengganggu se¬kresi insulin. Resistensi yang berlangsung lama ini menyebabkan berkurang¬nya fungsi sel beta sehingga akhirnya pa¬sien akan membutuhkan insulin.
Penderita DM tipe 2 juga kadang membutuhkan insulin pada kali pertama mereka melakukan kunjungan ke dokter jika me¬nunjukkan gejala klinis yang berat (mis. Ketoasidosis) atau mengalami pe¬nu¬runan berat badan yang drastis. Terapi in¬sulin pada DM tipe 2 juga dilakukan jika terapi konvensional dengan Obat Anti Dia¬betik (OAD) oral sudah tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Insulin diberikan sesuai kebutuhan ba¬sal untuk menjaga metabolisme berjalan fisiologis. Pemberian insulin dosis malam akan menekan produksi glukosa dari he¬par dan sangat menurunkan kadar glu¬ko¬sa darah puasa. Metode ini diharapkan da¬pat menurunkan A1C sebanyak 1%. Ma¬salah yang ada sampai sekarang ialah kadar glukosa darah yang meningkat dras¬tis sesudah makan hingga mening¬kat¬kan risiko penyakit kardiovaskular. Se¬benarnya tata laksana yang paling pen¬ting pada DM tipe 2 ialah diet dan meng¬ubah pola hidup menjadi lebih sehat. In¬sulin maupun obat antidiabetik oral merupakan pendukung.

Tantangan terapi insulin
Saat ini penderita diabetes mellitus su¬dah sangat banyak jumlahnya, baik itu IDDM apalagi NIDDM yang sangat bergantung pola hidup yang makin sedenter. Na¬mun demikian penatalaksanaan DM ma¬sih belum terlalu proaktif. Pemberian obat awal (Sulfonilurea) memberi hasil 35% perbaikan, kemudian lini kedua (Met¬formin) memberi hasil 44%, langkah se¬lanjutnya ialah kombinasi beberapa obat, baru kemudian pemberian insulin. Hierarki yang sedemikian lama ini membuat tata laksana DM tipe 2 kadang men¬ja¬di kurang efektif.
Ada kecenderungan 'psychological in¬sulin resistance', yakni keengganan pa¬sien untuk menggunakan insulin karena khawatir repot menusukkan jarum setiap hari. Banyak juga pasien yang membutuh¬kan multiple daily injections (MDI) sehingga sering membutuhkan lebih banyak staf untuk hal tersebut. Beberapa pasien juga enggan menggunakan insulin karena ta¬kut menjadi gemuk. Jika kita empati se¬di¬kit ke pasien, insulin sebenarnya menyebabkan hipoglikemia, sehingga dalam diri pasien akan selalu terpikir tentang ma¬kan, makan, dan ingin makan. Berbagai keluhan dan tantangan ini membuat tera¬pi insulin relatif membutuhkan kesabaran dan pengorbanan ekstra.
Edukasi dokter ke pasiennya merupa¬kan kunci utama. Dokter harus meya¬kin¬kan bahwa insulin merupakan obat yang sangat mujarab untuk DM serta model in¬sulin saat ini sudah beraneka ragam, ja¬rumnya tidak menyakitkan, dan caranya se¬makin mudah. Bila perlu, terangkan ten¬¬tang prediktor A1C yang harus mencapai kurang dari 7%, terutama bagi pasien dengan latar belakangan pendidikan yang baik. Model preparat insulin yang beredar di pasaran sudah tak terhitung jumlahnya. Dari model jarum yang steril hingga bentuk pulpen yang portabel dibawa ke mana-mana.
Dari segi dokter, penanganan pasien DM yang membutuhkan insulin mutlak me¬merlukan kerja sama tim yang solid. Di¬perlukan ahli gizi, perawat yang bisa me¬lakukan edukasi, hingga psikolog. Tim inilah yang menjaga pemberian insulin te¬tap berlangsung pada seorang pasien. Un¬tuk dokter, kadar glukosa darah dan A1C lah yang menjadi petanda utama perbaikan pasien. Sangat penting untuk me¬ngenali gejala-gejala klinis tanpa melihat hasil lab. Berdasarkan PERKENI dan Ame¬rican Association of Clinical Endo¬cri¬no¬logist (AACE) nilai glukosa darah dua jam postprandial ialah 140 mg/dl.
Karena DM merupakan penyakit yang membutuhkan kemandirian pasien, maka wajib diajarkan bagaimana cara menyuntik yang benar. Meskipun pasien menggunakan insulin inhalasi, tetap harus diajar¬kan cara menyuntik untuk keadaan emergensi. Pasien yang menggunakan pulpen injeksi tetap harus diajarkan cara me¬nyun¬tik subkutan dari vial kerja cepat un¬tuk keadaan emergensi. Pertimbangkan latar belakang pasien, terutama dari segi keluarga dan finansial. Anggota keluarga harus tahu benar bagaimana merawat pa¬sien serta harus diupayakan agar pasien memiliki tunjangan (asuransi kesehatan, gakin, JPS, askeskin, dll.) agar dapat se¬la¬lu membeli insulin.

Insulin basal
Pemberian insulin harus diberikan se¬ge¬ra pada IDDM, sedangkan pada NIDDM harus dipikirkan hierarki pengobatan dari mulai golongan sulfonilurea, metfor¬min/¬gli¬benclamide, hingga regimen penghambat glukagon (DPP-IV dan exanatide). Per¬ta¬ma kali insulin diberikan beberapa saat sebelum tidur kemudian dievaluasi kadar glukosa darah sewaktu. Jika hasil masih jelek, untuk pasien IDDM dapat diguna¬kan insulin preprandial. Pasien NIDDM ti¬dak terlalu tergantung dengan keadaan se¬belum dan sesudah makan, sehingga in¬sulin diberikan dua hingga tiga kali se¬hari dalam bentuk injeksi atau inhalasi. In¬sulin juga bisa diberikan sewaktu ma¬kan dengan menggunakan regimen kerja ce¬pat, seperti glulisine, lispro, dan as¬part.
Prinsip pemberian insulin ialah add-on; misalkan terdapat pasien NIDDM yang sudah mengkonsumsi kombinasi dua obat, maka obat yang sudah digunakan tetap dipertahankan tanpa meng¬ubah dosisnya. Insulin basal mulai ditambahkan dalam dosis tunggal kerja panjang (mis. Detemir, glargine), atau insulin kerja sedang sebelum tidur. Langkah se¬lanjutnya ialah melakukan penyesuaian hingga 40-50 unit insulin perhari untuk mengatasi hiperglikemia pada keadaan pua¬sa. Target utamanya ialah mencapai ka¬dar glukosa darah puasa lebih rendah dari 100 mg/dl.
Perlu dipertimbangkan tingkat resis¬ten¬si sel masing-masing individu terha¬dap insulin. Pada orang-orang yang sa¬ngat resisten insulin (mis. Obesitas, DM sejak lama) maka regimen yang baik ia¬lah thiazolodinedione atau metformin. Se¬dang¬kan pada pasien yang masih bisa di¬ren¬canakan untuk menggunakan insulin pran¬dial, maka sebaiknya tidak diguna¬kan secretagogue (sulfonilurea).

Insulin split-mix
Jika pasien mengalami hiperglikemia he¬bat postprandial maka dilakukan pen¬de¬katan konvensional berupa split-mix, yakni digunakan insulin kerja sedang di¬ga¬bung dengan insulin kerja cepat dalam do¬sis dua kali sehari. Cara ini merupakan metode konvensional dan terkesan 'asal tembak' karena tidak terlalu sesuai de¬ngan fisiologinya. Cara ini relatif cepat me¬nurunkan kadar glukosa darah namun sering menyebabkan hipoglikemia di ma¬lam hari.
Insulin yang lebih modern, yang bera¬sal dari manusia, relatif lebih aman mes¬ki¬pun kerjanya sangat cepat. Insulin dari re¬kombinan DNA ini tidak terlalu lama ber¬tahan di dalam darah dibanding dari non¬manusia. Cara mudahnya ialah memberikan 1/3 kerja sedang dan 2/3 kerja cepat dua kali sehari. Sedangkan cara in¬jeksi insulin yang banyak digunakan ialah insulin gabungan di pagi hari, insulin ker¬ja cepat sebelum makan malam, serta in¬sulin kerja sedang sebelum tidur.

Penggantian insulin fisiologis
Situasi paling ideal dalam terapi in¬su¬lin ialah mempertahankan kerja insulin se¬suai fisiologinya. Kadar insulin yang pa¬ling tinggi di dalam darah ialah jika terjadi hiperglikemia postprandial. Pada pa¬sien IDDM, insulin mutlak diberikan se¬pan¬jang hari sebelum makan. Sedangkan pada pasien NIDDM, harus diketahui ka¬pan terjadinya hiperglikemia postprandial dengan memprediksikan jenis makanan yang akan dimakan sehingga dapat di¬be¬ri¬kan insulin sebelumnya.
Pasien NIDDM mengalami penurunan fungsi sel-sel beta secara perlahan, ma¬ka awalnya akan terjadi hiperglikemia pos¬tprandial karena ketidakmampuan ma¬suknya glukosa ke dalam otot. Se¬dang¬kan jika telah berlangsung lama ma¬ka akan terjadi peningkatan glukosa akibat kerja hepar yang berlebihan dalam pro¬ses glukoneogenesis sehingga akan ter¬jadi hiperglikemia meskipun pada ke¬adaan puasa.
Untuk mengikuti irama fisiologis itu di¬per¬lukan insulin awal sebagai dosis basal (mis. Detemir atau glargine) selama be¬be¬rapa hari kemudian dilanjutkan dengan in¬sulin setidaknya sebelum makan de¬ngan kerja cepat (mis. Aspart, lispro, dan glulisine) segera sebelum makan dan ha¬rus dilanjutkan dengan makan, karena sa¬ngat berpotensi menimbulkan hipogli¬ke¬mia. In¬su¬lin yang diberikan juga bisa da¬lam bentuk inhalasi dengan kerja ce¬pat. Cara ini lebih efektif dibanding menggunakan kombinasi dua obat antidiabetik oral.
Hitungan kasar perbandingan glukosa dengan insulin yang dibutuhkan ialah 1 unit berbanding 15 g karbohidrat, yakni se¬tara satu lembar roti tawar. Ditambah de¬ngan koreksi kadar insulin. Contoh ko¬rek¬si; pasien NIDDM umumnya memiliki ka¬dar glukosa darah 250 mg/dl padahal kadar yang terbaik ialah di bawah 100 mg/dl. Perhitungan 1 unit insulin akan se¬tara menurunkan glukosa darah se¬ba¬nyak 20-50 mg/dl. Dengan demikian un¬tuk menurunkan hingga 100 mg/dl dibutuhkan 3-5 unit insulin koreksi, jadi total insulin yang digunakan ialah 3-5 plus jumlah sesuai makanan. Cara ini merupakan cara termudah yang bisa diajarkan ke pa¬sien dan keluarganya. Sementara untuk dokter, indikator yang paling akurat saat ini ialah dengan menilai A1C 7-9%.

© mihardi77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar